ABORSI: Tinjauan alkitabiah
& aplikatif
Pengantar
Ribut soal terbongkarnya praktek aborsi dikalangan pasangan di luar nikah, memantik debat panas: etiskah praktek aborsi itu? Jika etis, dapatkah klinik aborsi beroperasi dengan leluasa? Kalangan agamawan, etikus, para medis, dan para wanita pemilik rahim perlu dipertimbangkan secara cermat pendapatnya.
Ribut soal terbongkarnya praktek aborsi dikalangan pasangan di luar nikah, memantik debat panas: etiskah praktek aborsi itu? Jika etis, dapatkah klinik aborsi beroperasi dengan leluasa? Kalangan agamawan, etikus, para medis, dan para wanita pemilik rahim perlu dipertimbangkan secara cermat pendapatnya.
Dengan sengaja saya mengangkat pandangan
teologis Norman L. Geisler (2001) tentang Aborsi dan memberikan tanggapan
pribadi yang kiranya dapat menjadi masukan bagi siapa saja yang berminat pada
soal hidup atau matinya janin yang dikandung seorang wanita.
Saya percaya seorang wanita diberi anugerah
terbesar oleh Allah sehingga dengan rahimnya, seorang wanita dapat secara
pribadi mengalami karya Allah yang ajaib. Kiranya para Kartini modern mengucap
syukur atas kodratnya yang mulia saat mengandung, melahirkan dan menyusui.
Tiga sikap dasar
Geisler mengajukan pertanyaan etis:
Geisler mengajukan pertanyaan etis:
Dapatkah
dibenarkan untuk mengakhiri kehidupan dalam kandungan melalui aborsi?
Pertanyaan sekitar status janin terkait aborsi memunculkan 3 sikap dasar.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa janin
adalah bagian dari tubuh manusia sehingga mereka menyetujui aborsi sesuai
permintaan.
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa janin itu
berpotensi menjadi manusia sehingga mereka menyetujui aborsi dalam situasi
tertentu.
Dan ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa
janin itu benar-benar manusia sehingga mereka menolak sama sekali aborsi.
Ketiga kelompok ini membangun sikap dasarnya
dengan argumentasi alkitabiah maupun ilmiah.
1. Aborsi yang dilakukan kapan saja: Keyakinan bahwa janin itu bagian tubuh manusia
Kelompok pro-aborsi atau ”pro-choice” (kebebasan
memilih) memberi tekanan utama pada hak seorang ibu memutuskan apakah dia ingin
memiliki bayinya. Seorang wanita tidak dapat dipaksa memiliki anak yang
bertentangan dengan keinginannya.
Keputusan Pengadilan Tinggi AS (1973) yang
mengabulkan permintaan aborsi dalam kasus Doe vs Bolten dan Roe vs Wade dengan
alasan hak kebebasan pribadi wanita berlaku melebihi kepentingan Amerika di
dalam mengatur aborsi.
Akibatnya, aborsi dengan alasan apapun
dilegalkan di seluruh 50 negara bagian Amerika Serikat.
Argumentasi alkitabiah yang dibangun berdasarkan
Kitab Kejadian 2:7, Ayub
34:14-15, Yesaya 57:16, Pengkhotbah 6:3-5 dan Matius 26:24
yang semuanya ditafsirkan janin bukanlah manusia
sebab belum dapat bernafas.
Argumentasi ilmiahnya:
(1)
Argumentasi karena kesadaran diri, bahwa bayi hanyalah bagian dari tubuh
manusia dan bukan manusia sampai dia memiliki kesadaran diri;
(2)
Argumentasi karena ketergantungan fisik, bahwa bayi adalah gangguan bagi daerah
kekuasaan fisik seorang ibu sehingga seorang ibu berhak mengaborsinya;
(3) Argumentasi karena keselamatan sang ibu,
bahwa aborsi legal lebih aman dan menyelamatkan ribuan ibu dari kematian
dibandingkan aborsi yang dilakukan diam-diam, sembarangan dan tidak bersih;
(4) Argumentasi karena siksaan dan penyia-yiaan,
bahwa kehamilan yang tidak diinginkan berakibat anak-anak menga-lami penyiksaan
dan disia-siakan orang tuanya dan aborsi merupakan solusi efektif;
(5) Argumentasi karena cacat, bahwa kemajuan
ilmu kedokteran dapat mengidentifikasi sejak dini bayi cacat yang dapat ditolak
kelahirannya daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat.
(6) Argumentasi karena kebebasan pribadi
sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi AS yang menghormati hak kebebasan
pribadi wanita atas tubuhnya sehingga berhak mengeluarkan seorang bayi yang
tidak diinginkan dari rahimnya sama seperti hak mengusir tamu dari rumah.
(7) Argumentasi karena pemerkosaan, bahwa
mempertahankan kehamilan dalam kondisi terhina akibat perkosaan merupakan sikap
tidak bermoral dan wanita tidak harus dipaksa memiliki seorang bayi yang
bertentangan dengan kemauannya.
Geisler menilai argumentasi alkitabiah yang memandang janin sebagai bagian dari tubuh manusia sama sekali tidak benar sebagaimana yang dimaksud Alkitab.
Nafas tidak dapat menjadi ukuran dimulainya
hidup manusia.
Kehidupan
manusia sudah ada sebelum adanya nafas saat kelahiran, yaitu dari saat
pembuahan misalnya,
Mazmur
51:7 “dalam dosa aku dikandung ibuku” atau
Matius 1:20, “anak yang dalam kandungannya
adalah dari Roh Kudus”.
Kelahiran merupakan permulaan kehidupan yang
dapat dilihat orang, tetapi bukan permulaan kehidupan itu sendiri sebab seorang
ibu dapat merasakan kehidupan dalam kandungannya saat bayi bergerak, kadang
bahkan melonjak (Lukas 1:44).
Kisah penciptaan Adam adalah kasus unik dan
hanya Allah yang memberikan kehidupan bagi manusia dan bagaimana kehidupan
diberikan pada saat pembuahan (Kejadian 4:1).
Anak-anak yang mati karena keguguran memang tidak memiliki pengetahuan apapun (Pkh 6:3-5), tetapi bukan berarti mereka bukan manusia.
Orang dewasa pun kelak akan mati dan mereka
tetap manusia “sebab tidak ada pengetahuan dalam dunia orang mati kemana engkau
akan pergi” (Pkh 9:10).
Demikian juga bahwa tingkat pengetahuan bukan
ukuran menilai bahwa seorang individu itu manusia atau bukan manusia. Kesadaran
diri benar belum dimiliki oleh janin, tetapi juga pada mereka yang sedang
tidur, koma, anak-anak kecil yang berumur satu setengah tahun maupun mereka
yang kurang pendidikannya.
Karenanya, kesadaran diri tidak dapat dijadikan
patokan untuk tindakan aborsi.
Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu perluasan dari sang ibu, sebab setelah 40 hari setelah pembuahan embrio itu sudah memiliki ilham, golongan darah dan sidik jari sendiri. Dan akhirnya, embrio itu hanya “bersarang” di dalam kandungan ibunya.
Menyikapi legalisasi aborsi, Geisler berpendapat
bahwa legalisasi aborsi justru membunuh jutaan bayi (1.500.000 bayi/tahun) di
AS.
Aborsi dapat dinilai sebagai bentuk penyiksaan
anak yang paling buruk, penyiksaan melalui kematian yang kejam. Data Departemen
Pelayanan Kesehatan dan Manusia sejak aborsi dilegalkan tahun 1973 sampai 1982,
penyiksaan anak meningkat lebih dari 500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang
tua yang menginginkan anaknya.
Aborsi terhadap janin cacat tidak dapat
dibenarkan sebab sama seperti pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia karena
alasan genetik.
Organisasi orang cacat pun tidak menyetujui
aborsi terhadap bayi-bayi yang kemungkinan cacat.
Hak kebebasan pribadi, menurut Geisler tidaklah
mutlak sebab janin adalah manusia sejak pembuahannya dan aborsi jelas tindak
pembunuhan.
Aborsi merupakan tindakan lepas tanggung jawab
setelah melakukan hubungan seksual bebas sebab “si tamu” datang karena diundang
dan diusir karena tidak diinginkan. Benar kita semua menaruh simpati terhadap
korban pemerkosaan, tetapi mengaborsi janin jelas tindak pembunuhan.
Seharusnya kita menghukum pemerkosa yang bersalah,
bukan bayi yang tidak berdosa. Daripada diaborsi, bayi itu lebih baik diadopsi
oleh orang lain yang mau merawatnya.
2. Aborsi yang dilakukan
sekali-sekali: Keyakinan bahwa janin berpotensi menjadi manusia
Pendapat mereka bahwa sifat manusiawi dari individu berkembang secara ber-angsur-angsur di antara pembuahan dan kelahiran. Janin itu mulai sebagai sesuatu yang mungkin menjadi manusia dan menjadi manusia secara berangsur-angsur.
Pendapat mereka bahwa sifat manusiawi dari individu berkembang secara ber-angsur-angsur di antara pembuahan dan kelahiran. Janin itu mulai sebagai sesuatu yang mungkin menjadi manusia dan menjadi manusia secara berangsur-angsur.
Umumnya, mereka menyukai aborsi untuk
menyelamatkan nyawa sang ibu, karena pemerkosaan, incest dan cacat genetik.
Argumentasi alkitabiahnya, Keluaran 21:22-23 ditafsirkan bahwa kematian janin
karena kecelakaan harganya tidak sebanding dengan kematian sang ibu sebab janin
tidak dianggap benar-benar sebagai manusia.
Atau, Mazmur 51:7 ditafsirkan bahwa dalam
kandungan, janin berdosa dan karena itu janin berpotensi sebagai manusia
berdosa. Begitu juga Mazmur 139:13,16 memperlihatkan bahwa janin tidak
sepenuhnya manusia karena masih dalam proses “ditenun” dan disebut “belum
berbentuk” (bakal anak).
Roma 5:12 ditafsirkan bahwa janin hanyalah
berpotensial sebagai manusia sebelum dilahirkan dan Ibrani 7:9 ditafsirkan
bahwa janin itu hanya secara potensial manusia ketika mereka berada di dalam
tubuh sang ibu.
Argumentasi ilmiahnya:
(1) Kepribadian
manusia berkembang secara berangsur-angsur, karenanya janin hanyalah sesuatu
yang berpotensi menjadi manusia;
(2) Perkem-bangan manusia saling berhubungan
satu sama lain dengan perkembangan fisik, karenanya janin berpotensi menjadi
manusia sebab belum lengkap fisiknya sebagai manusia;
(3)
Analogi dengan makhluk hidup lainnya seperti biji pohon ek atau sebutir telur
yang memiliki potensi untuk hidup, karenanya janin memiliki potensi hidup
sebagai manusia;
(4) Argumentasi legal sebagaimana keputusan
Pengadilan Tinggi AS yang mengacu kepada Keempatbelas Amandemen AS yang
memberikan hak kewarganegaraan hanya kepada mereka yang sudah dilahirkan dan
berarti konstitusi menyatakan secara tidak langsung bahwa bayi yang belum lahir
tidak sepenuhnya manusia.
Keluaran 21:22-23 menurut Geisler tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa janin berpotensi sebagai manusia. Tafsiran yang benar bahwa janin yang gugur karena kecelakaan tetaplah seorang manusia yang sama harganya dengan nyawa sang ibu.
Mazmur 51:7 harus ditafsir sejak dari pembuahan
manusia berdosa dan menjadi bagian dari keturunan Adam yang berdosa.
Mazmur 139:13,16, bahwa bayi yang belum
terbentuk adalah manusia yang diciptakan Allah dan telah dikenal Allah sebelum
dilahirkan.
Roma 5: 12 tidak dimaksudkan bahwa janin
berpotensi sebagai manusia sebelum dilahirkan, melainkan kita semua terwakili
berada di dalam Adam dan bertanggung jawab di dalam dosanya.
Ibrani
7:9 sama sekali tidak berbicara tentang embrio manusia, melainkan secara kiasan
mau dikatakan persekutuan Lewi dengan Abraham secara iman.
Geisler berpendapat bahwa kepribadian adalah konsep psikologi dan pribadi merupakan sebuah kategori ontologi, karenanya janin adalah pribadi/manusia yang diciptakan Allah yang kelak setelah kelahirannya kepribadiannya akan berkembang seturut pertambahan usianya.
Jiwa manusia tetap sama sejak dari pembuahan
sampai mengalami perkembangan tubuh sehingga jiwa dapat hadir secara
keseluruhan dan komplit.
Tidak dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa biji
buah pohon Ek maupun embrio berpotensi memiliki kehidupan.
Biji pohon Ek merupakan satu pohon Ek hidup yang
sangat kecil di dalam sebuah tempurung dan embrio adalah seorang manusia kecil
yang hidup dengan potensi besar.
Keputusan pengadilan Tinggi AS dinilai Geisler
keliru sebab dengan jelas konstitusi AS melindungi hak hidup seorang anak yang
belum lahir sebagaimana Deklarasi Kemerdekaan (1776) maupun keputusan
pengadilan federal (1970) dalam kasus Steinberg vs Brown.
3. Tidak ada aborsi:
Keyakinan bahwa janin itu benar-benar manusia.
Argumentasi alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16; Keluaran 21:22 bahwa bayi yang belum dilahirkan disebut anak-anak dan diciptakan Allah (Maz139:13) menurut gambarNya (Kejadian 1:27). Hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama seperti orang dewasa (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dalam rahim Maria (Mat. 1:20-21; Luk 1:26-27). Secara ilmiah sejak dari pembuahan jenis kelamin pria atau wanita sudah ditentukan dan sesuai dengan kesaksian Alkitab (Kej 1:27). Anak-anak yang belum lahir memiliki karakteristik pribadi seperti dosa (Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal dekat dan pribadi oleh Allah (Mzm 1349:15-16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23; Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara pribadi dengan kata ganti orang yang sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5). Secara ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan lewat teknologi kedokteran membuktikan bahwa hidup manusia individual dimulai pada saat pembuahan di mana seluruh informasi genetik ada. Pada saat terjadi pembuahan, ketika sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu, manusia baru yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan sejak saat itu sampai kematiannya tidak ada informasi genetik baru yang ditambahkan. Semua yang ditambahkan di antara pembuahan dan kematian adalah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang dikandung adalah manusia yang memiliki orang tua manusia. Tindakan aborsi adalah tindakan pembunuhan sama seperti pembunuhan anak bayi atau eutanasia karena melibatkan pasien yang sama, prosedur yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama.
Aborsi telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis, baik orang Kristen maupun tidak, sejak permulaan peradaban. Kode Hammurabi (abad 18 SM), hukum Musa (abad 16 SM), Tiglath-pileser (abad 12 SM), Hippocrates (dengan sumpah kedokterannya), Santo Agustinus ( abad 4), Thomas Aquinas (abad 13), John Calvin (abad 16), serta konstitusi AS (sebelum keputusan 1973), menentang praktek aborsi dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya. Jika aborsi diterima maka kita mengakui diskriminasi dan berarti kita juga dapat menyingkirkan mereka yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka yang terlantar. Kritik dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya, bagaimana jika hidup sang ibu terancam? Bagaimana jika janin tidak sampai ke uterus untuk berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan semua sel telur yang dibuahi agar tidak terjadi aborsi spontan, karena janin tidak sampai ke uterus? Bukankah hidup kembar identik dimulai sesudah pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak sempurna secara genetik, karena hanya mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang memiliki 47 (Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia, tetapi hanya dalam keberadaan sebagai manusia.
Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau bayinya. Kematian atau aborsi spontan dimana janin tidak sampai ke uterus, bukanlah tanggungjawab moral kita dan berbeda dengan aborsi buatan (karena permintaan). Aborsi spontan atau kematian alamiah karena keguguran bukan tugas moral kita mencampurinya. Kembar identik manusia sejak pembuahannya sampai pembelahannya tetap manusia 100% dengan masing-masing yang memiliki 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan mendasar antara keberadaan sebagai manusia dan menjadi pribadi manusia, yang ada hanyalah perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan menyimpulkan bahwa kekudusan hidup merupakan fokus utama perdebatan soal aborsi sehingga kewajiban kita melindungi kekudusan hidup manusia.
Argumentasi alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16; Keluaran 21:22 bahwa bayi yang belum dilahirkan disebut anak-anak dan diciptakan Allah (Maz139:13) menurut gambarNya (Kejadian 1:27). Hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama seperti orang dewasa (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dalam rahim Maria (Mat. 1:20-21; Luk 1:26-27). Secara ilmiah sejak dari pembuahan jenis kelamin pria atau wanita sudah ditentukan dan sesuai dengan kesaksian Alkitab (Kej 1:27). Anak-anak yang belum lahir memiliki karakteristik pribadi seperti dosa (Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal dekat dan pribadi oleh Allah (Mzm 1349:15-16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23; Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara pribadi dengan kata ganti orang yang sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5). Secara ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan lewat teknologi kedokteran membuktikan bahwa hidup manusia individual dimulai pada saat pembuahan di mana seluruh informasi genetik ada. Pada saat terjadi pembuahan, ketika sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu, manusia baru yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan sejak saat itu sampai kematiannya tidak ada informasi genetik baru yang ditambahkan. Semua yang ditambahkan di antara pembuahan dan kematian adalah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang dikandung adalah manusia yang memiliki orang tua manusia. Tindakan aborsi adalah tindakan pembunuhan sama seperti pembunuhan anak bayi atau eutanasia karena melibatkan pasien yang sama, prosedur yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama.
Aborsi telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis, baik orang Kristen maupun tidak, sejak permulaan peradaban. Kode Hammurabi (abad 18 SM), hukum Musa (abad 16 SM), Tiglath-pileser (abad 12 SM), Hippocrates (dengan sumpah kedokterannya), Santo Agustinus ( abad 4), Thomas Aquinas (abad 13), John Calvin (abad 16), serta konstitusi AS (sebelum keputusan 1973), menentang praktek aborsi dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya. Jika aborsi diterima maka kita mengakui diskriminasi dan berarti kita juga dapat menyingkirkan mereka yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka yang terlantar. Kritik dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya, bagaimana jika hidup sang ibu terancam? Bagaimana jika janin tidak sampai ke uterus untuk berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan semua sel telur yang dibuahi agar tidak terjadi aborsi spontan, karena janin tidak sampai ke uterus? Bukankah hidup kembar identik dimulai sesudah pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak sempurna secara genetik, karena hanya mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang memiliki 47 (Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia, tetapi hanya dalam keberadaan sebagai manusia.
Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau bayinya. Kematian atau aborsi spontan dimana janin tidak sampai ke uterus, bukanlah tanggungjawab moral kita dan berbeda dengan aborsi buatan (karena permintaan). Aborsi spontan atau kematian alamiah karena keguguran bukan tugas moral kita mencampurinya. Kembar identik manusia sejak pembuahannya sampai pembelahannya tetap manusia 100% dengan masing-masing yang memiliki 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan mendasar antara keberadaan sebagai manusia dan menjadi pribadi manusia, yang ada hanyalah perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan menyimpulkan bahwa kekudusan hidup merupakan fokus utama perdebatan soal aborsi sehingga kewajiban kita melindungi kekudusan hidup manusia.
TANGGAPAN
Kekudusan Hidup
Penting terlebih dahulu menjelaskan definisi aborsi agar diperoleh pemahaman yang sama. Aborsi (abortion, Latin) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janjn itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian; sedangkan pengeluaran janin sesudah umur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi (infanticide). Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.
Geisler dengan cermat telah mengidentifikasi segala persoalan aborsi dan memberikan penilaian yang tepat bahwa aborsi tidak dapat disetujui karena melanggar kekudusan hidup yang ditetapkan Allah. Saya sepakat dengan Geisler bahwa kehidupan manusia harus dihargai lebih utama (pro-life) dibandingkan memperjuangkan hak kebebasan memilih (pro-choice) yang mengakibatkan kematian janin dan kemungkinan si ibu.
Janin sejak pembuahan adalah manusia dan karena itu proses perkembangannya sampai kelahiran tidak dapat diintervensi oleh siapapun, karenanya kita harus sehati menyetujui prinsip kekebalan janin terhadap gangguan. Uskup Agung Canterbury, Lord Ramsey menjelaskannya dalam Sidang gereja tahun 1967: “Kita harus nyatakan dengan tegas prinsip kekebalan janin terhadap gangguan, yang harus diberlakukan secara normatif … Adalah baik untuk melihat selaku salah satu pemberian Kekristenan yang besar kepada dunia, kepercayaan bahwa janin insani harus dijunjung tinggi sebagai embrio kehidupan yang suatu ketika bakal mampu mencerminkan kemuliaan Allah.”
Geisler dalam uraiannya tidak menjelaskan bagaimana teknik aborsi yang digunakan untuk mengakhiri kehidupan janin. Penjelasan John Stott (1994: 420-421) berikut ini menggambarkan aborsi adalah tindakan brutal yang tidak menghargai martabat manusia. Metode aborsi yang tertua adalah ‘D dan C’ (Dilation and Curettage, Pelebaran dan Pengikisan). Leher rahim diperlebar untuk memudahkan pemasukan ‘curette’ (alat pengikis) dengan mana dinding rahim dikikis hingga janin hancur terpotong-potong, atau tabung penyedot melalui mana janin itu disedot ke luar setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Atau teknik injeksi racun ke dinding perut si ibu ke dalam kantung amniotik (cairan yang terdapat antara janin dan dinding rahim) yang membungkus janin itu sehingga saat terkena racun, hangus lalu mati kemudian didorong ke luar secara spontan. Bisa juga dengan metode histerotomi (semacam Caesar tetapi bukan bertujuan menyelamatkan si bayi, melainkan membunuhnya) atau histerektomi lengkap ( janin dan rahim diangkat untuk dihancurkan bersama-sama).Yang terakhir, teknik prostaglandin, suatu hormon yang langsung mengakibatkan kelahiran prematur, dengan tujuan mengakhiri kehidupan si bayi.
Penjelasan medis seperti ini perlu dikemukan secara terbuka kepada orang-orang muda atau pasutri sehingga mereka dapat mengurungkan niat aborsi. Dalam kaitan ini penting juga meminta pertanggung jawaban moral seorang tenaga medis, seperti dokter atau bidan agar tidak menyalahgunakan keahliannya semata-mata demi keuntungan finansial.
Berbagai alasan meminta aborsi, antara lain korban pemerkosaan, incest, janin cacat, aib karena hamil di luar nikah, kemiskinan keluarga atau kebrutalan si ayah.Tentunya kita turut bersimpati dengan penderitaan itu, namun aborsi bukan solusi ampuh dan dapat dibenarkan secara iman kristiani. Jalan keluar terbaik adopsi atau menyerahkannya kepada panti asuhan. Tindakan aborsi illegal mengakibatkan 80.000 jiwa wanita mati setiap tahunnya dan sungguh aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan wanita secara fisik dan psikis.
Benar bahwa kaum pria tidak dapat merasakan bagaimana penderitaan seorang wanita hamil yang menginginkan bayinya diaborsi. Namun sebagai pengikut Yesus, kita harus percaya bahwa Allah berkarya dalam rahim seorang ibu (Mazmur 139:13-16; Ayub 10:10-11) dan Allah bahkan berkenan menggunakan rahim seorang wanita (Maria) untuk mewujudkan rencana keselamatan bagi manusia. Jelas janin/anak adalah anugerah Tuhan dan kita berkewajiban melindunginya dengan kasih. Kepentingan utama kita adalah memelihara dan mempertahankan kekudusan hidup sehingga tindakan aborsi semata-mata dapat dilakukan hanya untuk kasus di mana pilihannya menyelamatkan nyawa si ibu atau sibayi seperti kasus kanker rahim (aborsi terapeutik). Saya setuju dengan sikap pimpinan Majelis keagamaan Indonesia yang dengan tegas melarang aborsi dan mengajak semua umat beragama menjunjung tinggi nilai luhur perkawinan dan keluarga (Kusmaryanto, 179). Dalam era keterbukaan dan kemajuan teknologi komunikasi, sudah sewajarnya pendidikan seksualitas diajarkan kepada kawula muda dan pasutri, sehingga mereka tidak jatuh dalam kehidupan seks bebas dan melakukan aborsi karena ketidaktahuannya.
Penting terlebih dahulu menjelaskan definisi aborsi agar diperoleh pemahaman yang sama. Aborsi (abortion, Latin) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janjn itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian; sedangkan pengeluaran janin sesudah umur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi (infanticide). Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.
Geisler dengan cermat telah mengidentifikasi segala persoalan aborsi dan memberikan penilaian yang tepat bahwa aborsi tidak dapat disetujui karena melanggar kekudusan hidup yang ditetapkan Allah. Saya sepakat dengan Geisler bahwa kehidupan manusia harus dihargai lebih utama (pro-life) dibandingkan memperjuangkan hak kebebasan memilih (pro-choice) yang mengakibatkan kematian janin dan kemungkinan si ibu.
Janin sejak pembuahan adalah manusia dan karena itu proses perkembangannya sampai kelahiran tidak dapat diintervensi oleh siapapun, karenanya kita harus sehati menyetujui prinsip kekebalan janin terhadap gangguan. Uskup Agung Canterbury, Lord Ramsey menjelaskannya dalam Sidang gereja tahun 1967: “Kita harus nyatakan dengan tegas prinsip kekebalan janin terhadap gangguan, yang harus diberlakukan secara normatif … Adalah baik untuk melihat selaku salah satu pemberian Kekristenan yang besar kepada dunia, kepercayaan bahwa janin insani harus dijunjung tinggi sebagai embrio kehidupan yang suatu ketika bakal mampu mencerminkan kemuliaan Allah.”
Geisler dalam uraiannya tidak menjelaskan bagaimana teknik aborsi yang digunakan untuk mengakhiri kehidupan janin. Penjelasan John Stott (1994: 420-421) berikut ini menggambarkan aborsi adalah tindakan brutal yang tidak menghargai martabat manusia. Metode aborsi yang tertua adalah ‘D dan C’ (Dilation and Curettage, Pelebaran dan Pengikisan). Leher rahim diperlebar untuk memudahkan pemasukan ‘curette’ (alat pengikis) dengan mana dinding rahim dikikis hingga janin hancur terpotong-potong, atau tabung penyedot melalui mana janin itu disedot ke luar setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Atau teknik injeksi racun ke dinding perut si ibu ke dalam kantung amniotik (cairan yang terdapat antara janin dan dinding rahim) yang membungkus janin itu sehingga saat terkena racun, hangus lalu mati kemudian didorong ke luar secara spontan. Bisa juga dengan metode histerotomi (semacam Caesar tetapi bukan bertujuan menyelamatkan si bayi, melainkan membunuhnya) atau histerektomi lengkap ( janin dan rahim diangkat untuk dihancurkan bersama-sama).Yang terakhir, teknik prostaglandin, suatu hormon yang langsung mengakibatkan kelahiran prematur, dengan tujuan mengakhiri kehidupan si bayi.
Penjelasan medis seperti ini perlu dikemukan secara terbuka kepada orang-orang muda atau pasutri sehingga mereka dapat mengurungkan niat aborsi. Dalam kaitan ini penting juga meminta pertanggung jawaban moral seorang tenaga medis, seperti dokter atau bidan agar tidak menyalahgunakan keahliannya semata-mata demi keuntungan finansial.
Berbagai alasan meminta aborsi, antara lain korban pemerkosaan, incest, janin cacat, aib karena hamil di luar nikah, kemiskinan keluarga atau kebrutalan si ayah.Tentunya kita turut bersimpati dengan penderitaan itu, namun aborsi bukan solusi ampuh dan dapat dibenarkan secara iman kristiani. Jalan keluar terbaik adopsi atau menyerahkannya kepada panti asuhan. Tindakan aborsi illegal mengakibatkan 80.000 jiwa wanita mati setiap tahunnya dan sungguh aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan wanita secara fisik dan psikis.
Benar bahwa kaum pria tidak dapat merasakan bagaimana penderitaan seorang wanita hamil yang menginginkan bayinya diaborsi. Namun sebagai pengikut Yesus, kita harus percaya bahwa Allah berkarya dalam rahim seorang ibu (Mazmur 139:13-16; Ayub 10:10-11) dan Allah bahkan berkenan menggunakan rahim seorang wanita (Maria) untuk mewujudkan rencana keselamatan bagi manusia. Jelas janin/anak adalah anugerah Tuhan dan kita berkewajiban melindunginya dengan kasih. Kepentingan utama kita adalah memelihara dan mempertahankan kekudusan hidup sehingga tindakan aborsi semata-mata dapat dilakukan hanya untuk kasus di mana pilihannya menyelamatkan nyawa si ibu atau sibayi seperti kasus kanker rahim (aborsi terapeutik). Saya setuju dengan sikap pimpinan Majelis keagamaan Indonesia yang dengan tegas melarang aborsi dan mengajak semua umat beragama menjunjung tinggi nilai luhur perkawinan dan keluarga (Kusmaryanto, 179). Dalam era keterbukaan dan kemajuan teknologi komunikasi, sudah sewajarnya pendidikan seksualitas diajarkan kepada kawula muda dan pasutri, sehingga mereka tidak jatuh dalam kehidupan seks bebas dan melakukan aborsi karena ketidaktahuannya.
DAFTAR PUSTAKA
AWRC, Transforming attitudes towards sexuality: A module for asian women, Kuala Lumpur: Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology, 2002.
AWRC, Transforming attitudes towards sexuality: A module for asian women, Kuala Lumpur: Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology, 2002.
Geisler, Norman L. Etika Kristen: pilihan dan
isu, alih bahasa Wardani Mumpuni & Rahmiati Tanudjaja, Malang: Departemen
Literatur SAAT, 2001.
Grenz, Stanley Sexual Ethics: A biblical
perspective, United Kingdom: Paternoster Press, 1998.
Kusmaryanto, C.B. Tolak aborsi: Budaya kehidupan
versus budaya kematian, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Stott, John Isu-isu global menantang
kepemimpinan kristiani, terj. G.M.A. Nainggolan, Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 1994
0 Response to "ABORSI DITINJAU DARI IMAN KRISTEN"
Post a Comment