Pendidikan
agama yang sejati adalah pendidikan hati (Magnis Suseno, 2006; S. Belen,
2007). Pendidikan hati melibatkan kemampuan menghidupkan
kebenaran yang paling
dalam guna mewujudkan hal terbaik, utuh, dan paling
manusiawi dalam batin. Gagasan,
energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup
mengalir dari dalam, dari suatu
keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta-kasih.
Pendidikan
hati bersifat inklusif dan dapat merupakan common denominator bagi beragam kepercayaan. Agama hanya memberi petunjuk umum, umat lalu lebih didewasakan,
inisiatif dikembangkan, sehinggamasyarakat bisa lebih maju dan dinamis (Al Andang, 1998).
Pemimpin
agamapun dituntut untuk mempunyai pandangan
yang lebih universal. Untuk itu, pendidikan agama seharusnya mampu berperan
sebagai pendidikan hati, yang dapat mengembangkan kemampuan siswa akan hal-hal
umum yang sama bagi beragam agama, agar tercipta budaya damai, menghormati
hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, menghargai setiap pribadi.
Harian
Kompas pernah menampilkan hasil polling ke
berbagai kota besar di Indonesia
tentang “persoalan bangsa yang paling mengkhawatirkan”.
Persentase
terbesar (40,1%)
adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari
pertikaian antar umat
beragama.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan; (1) masyarakat Indonesia yang sangat
heterogen dan majemuk dalam segala segi, hubungan antar umat
memegang peran
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 2) hubungan
antar umat penting
sebagai usaha preventif munculnya kerusuhan dan tindak
kekerasan yang berakibat pada
disintegrasi bangsa. Seperti dikemukakan oleh Furnivall
bahwa masyarakat-masyarakat
plural Asia Tenggara khususnya Indonesia akan terjerumus ke
dalam anarki jika gagal
menemukan formula federasi pluralis yang memadai ( Azyumardi
Azra, 2007).
0 Response to "PEMIMPIN HARUS MEMILIKI PANDANGAN YANG UNIVERSAL DALAM AGAMA"
Post a Comment